PSIKOLOGI DALAM PERKEMBANGAN ARSITEKTUR
Dewasa ini kecepatan transportasi, komunikasi, dan teknologi sebagai dampak dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dashyat menimbulkan suatu proses globalisasi di dunia yang mengakibatkan segala sesuatu tampaknya berada di depan kita dan tak terhindar lagi dari banyak paradigma. Tak ada lagi tempat, tak ada lagi legalitas untuk tempat yang tidak ‘diwajibkan’ guna tempat komersial. Semua bernilai komersil, tanah, lahan, bangunan, pohon, makanan, dan bahkan yang paling miris adalah manusia. Arsitektur yang kita kenal sekarang ini juga merupakan nilai komersial, untuk mendapatkan sebuah ‘gelar’ arsitek pun dinilai dengan beberapa atau bahkan berlembar-lembar nominal. Tak dapat disangkal arsitektur kini berkembang sangat pesat, bahkan dinilai sebagai sebagai manifesto zaman. Arsitektur merupakan ekspresi paling tinggi dari alam pemikiran seseorang, sehingga untuk pembanding nilai komersil cukup berbanding. Arsitektur tumbuh bersama dengan ‘semangat’, ‘kemanusiaan’, ‘kesetiaan’ dan ‘keyakinan’. Aspek psikologi yang kerap kali masuk kedalam perancangan arsitektur justru menghadirkan pembaharuan pada setiap ‘kertas kerja’nya,
Psikologi sebagai sebuah disiplin ilmupengetahuan yang mandiri, telah berkembang pula. Salah satu nya spesialisasi dlam disiplin ilmu guna upaya meneliti rancangan ruangan yang dikhususkan untuk para pasien penyakit jiwa di salah satu rumah sakit umum di Amerika Serikat. Begitu halnya psikologi arsitektur yang mengemukakan antara lingkungan fisik, khususnya yang berkaitan dengan penurunan kualitas fisik serta timbulnya gangguan terhadap perilaku dan gangguan terhdap keseimbangan alamiah akibat intervensi manusia melalui pembangunan fisik.
Kenapa bisa terjadi unsur psikologis dan komersil selalu dimasukkan dalam perancangan karya-karya arsitektur ? Indikasi adanya keterkaitan antara psikologis-komersil dalam perancangan arsitektur adalah munculnya pemikiran tentang ide fungsionalisme yang lahir dan berkembang. Adanya isitilah fungsionalisme menjadikan nilai karya arsitektur selalu melibatkan adanya tingkat efisiensi dan efektif didalamnya. Fungsionalisme menunjukkan keberhasilan berdasarkan kemampuan auatu objek memenuhi tugas dan fungsi.Fungsionalisme sehingga bisa dipakai manusia, begitu lah singkatnya. Seperti halnya Eugene Emmanuel Viollete le Duc, seorang arsitek Prancis mengatakan bahwa para arsitek pada abad XII dan XIII yang membuat plafon Nave (ruang tengah gereja) yang sangat tinggi, adlaah bukan semata-mata karena murni keinginan simbolis , tetapi semata-mata agar bisa mendapatkan udara dan cahaya agar tidak gelap dan lembab. Psikologi mempengaruhi dan mengkaitkan tipical ruangan atau rancangan menjadi suatu patokan dan batasan desain yang ‘wajib’. Seolah menjadi batasan yang tidak boleh dilanggar. Tak hanya psikologi manusia yang menjadi standarisasi dalam perancangan arsitektural namun juga komersil arsitektur. Nilai-nilai komersil mengatur dan merealisasikan keinginan psikologi manusia dalam perancangan arsitektur. Tak ada Komersil maka psikologi dalam karya arsitektur tak akan terealiasasi begitu halnya sebaliknya. Tak ada ‘standarisasi’ psikologi manusia dalam rancangan arsitektur maka tak lagi ada bangunan yang cukup untu k dinilai secara nominal, karena keinginan dan ‘standarisasi’ manusia yang berubah. Ada dua unsure penting pembentuk paham arsitektur yaitu ‘rasionalisasi’ dan standarisasi’.
Keidentikan fungsionalisme dalam sebuah karya arsitektur menyamakan adanya anggapan psikologi manusia dalam arsitektur berbanding lurus, keduanya saling berkaitan dan tak dapat dipisahkan. Ada tidak bangunan yang tidak memperhatikan kenyamanan, keamanan dan aspek-aspek lain penggunannya? Tentulah cukup sedikit untuk dapat mengatakan ‘Iya’, Fungsionalis mengindahkan aspek psikologi dan sebaliknya. Pada akhirnya keduanya diungkapan dengan adanya ‘konsep bentuk’ dan ‘konsep ruang’, selalu saja ada konsep. Begitulah konsep, sifatnya mengatur, seolah mengikat, ‘mewajibkan’ dan mencampuri. Semua tampak kompleks, bentuk bisa jadi merupakan hal yang pasti dan tetap, walaupun pada kesan yang dtinggalkannya dalam alam pikiran manusia selalu bisa berubah dan berkembang. Dalam sisi psikologis ‘konsep’ dapat saya artikan sebagai sebuah ‘privacy’, yang dianggap mendasari. ‘Privacy’ dalam arsitektural mungkin dapat saya analogkan dengan ‘Teritori’ sebagai batas wilayah fisik ataupun abstrak. Dalam psikologi ‘privacy’ yang dimaksudkan adalah sebagai pengontrol perilaku dalam ruangan terhadap subjek lain, orang ataupun hal lain. Konsep ‘privacy’ ataupun ‘teritori’ dalam arsitektur bisa diartikan sebagai kebutuhan manusia untuk menikmati sebagian kehidupan sehari-harinya tanpa ada gangguan langsung ataupun tidak dari hal lain dan psikologi manusia menjelaskan bahwa psikologi ‘privacy’ sebagai kebebasan pribadi untuk memilih apa yang akan disampaikan kepada siapa dan tentang apa.
Adanya psikologi manusia dan arsitektur tentulah sebagai sebuah parameter dalam perencanaan, sehingga dapat menciptakan bangunan yang tak meninggalkan fungsi-fungsi dan efienitas. Pada akhirnya konsep-konsep akan ‘privacy’, ‘teritori’, ‘konsep’ jelas dibutuhkan kerjasama dan kepaduan kesemuanya. Psikologi manusia-arsitektural nyata halnya, terjadi nya suatu proses dengan variasi-varias, ‘batasan-batasan’ tersebut menjadikan proses psiko-arsitektural tidak dapat pernah dapat dihentikan dan terhentikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar